Sunday, January 6, 2013

Butiran Senyum Kemunafikan (END)

Posted by Aprillia Himatina at 10:34 PM 0 comments


“Ada lagi?” hal serupa yang kami berdua pikirkan. Kenapa cerita kelam masa lalu itu muncul kembali? Mengapa masih ada saja kecemburuan? Apa yang salah sebenarnya? Bukan dunia nyata yang membagi kelam dalah hati. Apa yang mereka inginkan? Bukannya kesempurnaan hanya milik Tuhan? Aku semakin tak dapat melihat keindahan setitik cahaya dalam kegelapan dunia nyata ini. Mengapa selalu terambing oleh ombak kritikan yang sebenarnya tidak bisa aku lakukan. Aku dan Kak Dhisa semakin terusik. Wajah cantik yang terlukis pada Kak Dhisa langsung berubah 179 derajat saat aku mengatakan serangkai kata yang membuatku juga semakin kacau. Ada orang lain yang ingin mengetahui kedekatanku dengan Kak Dhisa. Apa keinginannya? Aku benar-benar tak suka dengan keadaan seperti ini. Api besar seperti ada di kedua pundak Kak Dhisa. Amarah darinya pun keluar meluap begitu saja. Aku tak tau harus berbuat apa. Pemilik jari-jari peseni ini hampir membuat aku panik sendiri. Kak Dhisa ingin membuat orang itu menghentikan perbuatannya. Aku seperti dalam keadaan yang serba salah. Aku tak mampu berbuat apa – apa. Aku mencoba membuat Kak Dhisa untuk menghentikannya. Dia kolot. Tak ingin berhenti untuk melakukannya. Kelam yang aku rasakan. Kak Dhisa pun lalu pergi meninggalkan aku. Aku takut. Tak tau apa yang harus aku lakukan. Pikiranku kacau. Rasanya ingin pergi ke tempat yang tak ada seorang pun di sana. Entah apa yang ada di pikiran Kak Dhisa pada saat itu. Perasaan buruk selalu menghantuiku sepanjang waktu itu. Pesan singkat yang berisi permohonanku kepada Kak Dhisa hanya berujung percuma. Pemilik jari – jari perseni itu tidak membalas pesan singkat dariku. Hawa tak enak semakin menusuk ke dalam lubuk perasaan dan pemikiranku. Aku diam dengan banyak gejolak di pikiranku. Aku semakin tersingkir dari dunia nyata ini.
Ponsel bergetar. Tulisan satu pesan nampak terlihat di ponselku. Aku takut. Jemariku meraba sedikit ponsel yang berbunyi itu. Pesan singkat yang membuatku semakin panik. Kak Dhisa. “Aku tunggu kamu selesai bicara, baru aku akan menyelesaikannya”. Bayang-bayang yang tadinya berkecambuk hebat tak karuan di benak pemikiranku ini semakin menghanyut bak di bawa arus yang tenang. Aku tahu dan aku mengerti dia. Kak Dhisa dapat menahan emosi tingginya. Aku yakin dia tidak akan melakukan suatu tindakan dengan terburu - buru. Aku menyukai sifat Kak Dhisa yang satu ini. Aku tenang untuk yang kesekian kalinya setelah dibuat kacau tak karuan oleh pemilik jemari peseni itu.
Hima. Seorang berambut panjang menjuntai ini semakin tidak merasa nyaman dengan keadaan setelah ada masalah yang baru saja terjadi itu. Semua itu berlebihan. Bintang yang bersinar menyilaukan pandangan sangatlah tak enak untuk dipandang. Aku tidak suka semua itu. Ingatan yang sudah sangat benci untuk menampung suatu masalah kembali. Mengapa dia lagi yang membuatku seperti ini? Ini bukan tentang Kak Dhisa. Tetapi dia lah yang aku jadikan tempat bersandar dari masalah yang baru ini. Masalah yang sangat tidak penting, tetapi menjadi suatu tantangan yang membuat aku kembali terusik. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Kak Dhisa yang berbagi pengalamannya denganku. Dia pernah merasakan apa yang aku rasakan sekarang ini. Tapi dalam kondisi yang berbeda. Lebih menyakitkan. Hanya berdiam yang dapat dilakukan. Tangisan jatuh di saat mata pandangan kosong dan tak ada seorang pun yang dapat menenangkannya. Tahan sejenak. Aku mengerti apa yang Kak Dhisa rasakan pada saat itu. Aku pun belajar dari apa yang Kak Dhisa alami pada saat itu. Meski banyak butiran-butiran yang membuat sakit, tetapi senyum tetaplah harus menyungging di bibir. Apa yang akan terjadi? Senyum dapat mencairkan suasana yang begitu tak tenang menjadi damai. Salju yang akan semakin mengeras akan mencair dengan siraman butiran garam. Begitulah arti senyum yang sebenarnya. Itu yang Kak Dhisa sampaikan kepadaku melalui gerak tubuhnya. Tak berkata panjang, hanya gerakan yang berbicara. Aku mengerti. Aku yang seharusnya dapat menjadi lebih dewasa.
Kak Dhisa. Dia lah yang membuatku tegar sampai saat ini. Aku menyayanginya sebagai Kakak kandungku sendiri. Meskipun banyak celaan tentangnya, tapi dia sosok yang berani. Aku dan Kak Dhisa menyelesaikan masalah baru ini di sekolah. Di lantai dua gedung induk sekolah yang cukup tua itu Kak Dhisa menemaniku menyelesaikan tugas yang aku sudah tak bisa berpikir jernih. Es krim coklat berselimut butiran kacang yang dingin membuat suasana semakin nampak tak ada ketegangan lagi di antara aku dan Kak Dhisa Claudia.
Sampai saat ini, sampai cerita ini selesai kutulis, Kak Dhisa masih setia menemaniku, di sampingku, sebagai seorang kakak yang aku sayang.

-April 2012-
 

~ A Little Story ~ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review