Aku
benci ketika kita saling menyalahkan, mencari kambing hitam dari setiap
permasalahan. Aku benci ketika emosi dalam diriku dan Kak Dhisa menjadi begitu
dominan saat kita tak mampu berbicara dengan kepala dingin. Aku benci! Amat
sangat benci sekali! S ebenarnya ini semua
mungkin bukan salahku dan bukan salahmu. Ini persoalan kita. Mungkin ini bisa
jadi salahku, yang selalu tak mengerti jalan pikiran Kak Dhisa, yang tak pernah
mengerti Kak Dhisa. Mungkin juga ini salahmu, yang selalu memikirkan banyak hal
dengan logika, yang selalu mencerna banyak hal dengan presepsimu. Dan
kemungkinan berikutnya, ini salah kita. Kita yang tak mampu menahan amarah.
Sampai
pada suatu hari aku memberanikan diri bicara dengannya, “Jadi, apa kabarmu Kak?
Setelah sekian lama kita tak saling berkabar, nampaknya ada banyak yang berubah,
dan mungkin ada hal baru yang tidak aku ketahui.” Cukup lama setelah Kak Dhisa
menjawab pertanyaanku itu kita berdua saling terdiam. “Aku berharap kamu tak
pernah berubah, meskipun kita tak terlalu sering bertatapan mata.” Pikiranku
melayang dimana aku dan Kak Dhisa pertama kali bertemu. Waktu MOS, sebenarnya
aku tidak terlalu ingat dia, karena saat itu aku dekat dengan salah satu
temannya. Tapi entah seiring waktu berjalan, kami pun semakin dekat. Saat itu,
aku dan Kak Dhisa ikut seleksi untuk masuk organisasi di sekolah kami. Mungkin
dengan intensitas bertemu yang cukup sering aku dan dia jadi bisa lebih
mengenal karakter satu sama lain. Seperti hingga saat ini, aku mengenal Kak Dhisa
lebih dari ‘mereka’, dan Kak Dhisa juga lebih mengenalku dibanding teman –
temannya yang lain. Dan entah mengapa, hal apapun, tebakan apapun mengenai
diriku, Kak Dhisa selalu tepat. Aku sendiri kadang sampai bingung, ini semacam
kebetulan atau memang jalan Tuhan?
Tapi
sekarang semua telah baik, kita sudah berbicara satu sama lain. Kita jsudah
membicarakan kesalahpahaman itu. Lewat chat
di Yahoo Messenger, ya, mungkin
terlihat lucu, tapi itulah faktanya. “Jaman alay”, itu sebutan dari aku dan Kak
Dhisa untuk masa – masa dimana aku dan dia saling terdiam, tak banyak bicara
satu sama lain seakan tak saling kenal. Setelah diingat memang waktu itu kita berdua
atau khususnya aku, terlalu berlebihan, alay! Toh ini semua sebenarnya hanya
masalah waktu. Kita berdua mulai saling berbagi cerita lagi, fantastis!
Hujan
menari – nari dengan lembut diantara tanah basah yang setia terdiam pada
posisinya. Dedaunan terombang – ambing mengikuti gerakan hujan. Deras rintiknya
menyapa relung – relung hati yang bungkam, terik matahari seakan – akan
terlupakan, hanya ada derai air dengan suhu dingin yang menyejukkan hawa gerah.
Hujan masih bercengkrama dengan ramah, membasuh hati yang gundah. Aku terdiam
menatap hujan yang cukup deras, nampaknya ia tak mau berhenti. Aku terdiam. Tak
mampu berbuat apa – apa. Hanya menatap hujan. Berkali – kali. Terus – menerus.
Sampai
dengan saat ini, hubunganku dan Kak Dhisa berjalan baik. Tidak ada lagi
pertengkaran – pertengkaran, permasalahan, atau kesalahpahaman. Kita sudah
belajar dari masa lalu, seperti kalimatku untuk Kak Dhisa “Masa lalu bukan
untuk dilupakan, tetapi untuk dijadikan kenangan, untuk jadi pelajaran.” Dan
sewaktu Kak Dhisa bercerita sesuatu padaku, aku juga sempat mengucapkan kalimat
atau entah apa ini “Suka, lalu pedekate, lalu ingin memiliki. Hilanglah esensi dari
sayang kalau hanya mementingkan perasaan ingin memiliki” Aku berkata seperti
itu karna aku tak ingin melihatnya kecewa nantinya, walaupun aku berharap dia
tak akan kecewa akan hal itu. Tapi apa salahnya kan antisipasi? Toh, itu tak
ada ruginya.