Monday, December 24, 2012

Butiran Senyum Kemunafikan (Part. 6)

Posted by Aprillia Himatina at 11:13 PM

Aku benci ketika kita saling menyalahkan, mencari kambing hitam dari setiap permasalahan. Aku benci ketika emosi dalam diriku dan Kak Dhisa menjadi begitu dominan saat kita tak mampu berbicara dengan kepala dingin. Aku benci! Amat sangat benci sekali! S ebenarnya ini semua mungkin bukan salahku dan bukan salahmu. Ini persoalan kita. Mungkin ini bisa jadi salahku, yang selalu tak mengerti jalan pikiran Kak Dhisa, yang tak pernah mengerti Kak Dhisa. Mungkin juga ini salahmu, yang selalu memikirkan banyak hal dengan logika, yang selalu mencerna banyak hal dengan presepsimu. Dan kemungkinan berikutnya, ini salah kita. Kita yang tak mampu menahan amarah. 
Sampai pada suatu hari aku memberanikan diri bicara dengannya, “Jadi, apa kabarmu Kak? Setelah sekian lama kita tak saling berkabar, nampaknya ada banyak yang berubah, dan mungkin ada hal baru yang tidak aku ketahui.” Cukup lama setelah Kak Dhisa menjawab pertanyaanku itu kita berdua saling terdiam. “Aku berharap kamu tak pernah berubah, meskipun kita tak terlalu sering bertatapan mata.” Pikiranku melayang dimana aku dan Kak Dhisa pertama kali bertemu. Waktu MOS, sebenarnya aku tidak terlalu ingat dia, karena saat itu aku dekat dengan salah satu temannya. Tapi entah seiring waktu berjalan, kami pun semakin dekat. Saat itu, aku dan Kak Dhisa ikut seleksi untuk masuk organisasi di sekolah kami. Mungkin dengan intensitas bertemu yang cukup sering aku dan dia jadi bisa lebih mengenal karakter satu sama lain. Seperti hingga saat ini, aku mengenal Kak Dhisa lebih dari ‘mereka’, dan Kak Dhisa juga lebih mengenalku dibanding teman – temannya yang lain. Dan entah mengapa, hal apapun, tebakan apapun mengenai diriku, Kak Dhisa selalu tepat. Aku sendiri kadang sampai bingung, ini semacam kebetulan atau memang jalan Tuhan?
Tapi sekarang semua telah baik, kita sudah berbicara satu sama lain. Kita jsudah membicarakan kesalahpahaman itu. Lewat chat di Yahoo Messenger, ya, mungkin terlihat lucu, tapi itulah faktanya. “Jaman alay”, itu sebutan dari aku dan Kak Dhisa untuk masa – masa dimana aku dan dia saling terdiam, tak banyak bicara satu sama lain seakan tak saling kenal. Setelah diingat memang waktu itu kita berdua atau khususnya aku, terlalu berlebihan, alay! Toh ini semua sebenarnya hanya masalah waktu. Kita berdua mulai saling berbagi cerita lagi, fantastis!
Hujan menari – nari dengan lembut diantara tanah basah yang setia terdiam pada posisinya. Dedaunan terombang – ambing mengikuti gerakan hujan. Deras rintiknya menyapa relung – relung hati yang bungkam, terik matahari seakan – akan terlupakan, hanya ada derai air dengan suhu dingin yang menyejukkan hawa gerah. Hujan masih bercengkrama dengan ramah, membasuh hati yang gundah. Aku terdiam menatap hujan yang cukup deras, nampaknya ia tak mau berhenti. Aku terdiam. Tak mampu berbuat apa – apa. Hanya menatap hujan. Berkali – kali. Terus – menerus.
Sampai dengan saat ini, hubunganku dan Kak Dhisa berjalan baik. Tidak ada lagi pertengkaran – pertengkaran, permasalahan, atau kesalahpahaman. Kita sudah belajar dari masa lalu, seperti kalimatku untuk Kak Dhisa “Masa lalu bukan untuk dilupakan, tetapi untuk dijadikan kenangan, untuk jadi pelajaran.” Dan sewaktu Kak Dhisa bercerita sesuatu padaku, aku juga sempat mengucapkan kalimat atau entah apa ini “Suka, lalu pedekate, lalu ingin memiliki. Hilanglah esensi dari sayang kalau hanya mementingkan perasaan ingin memiliki” Aku berkata seperti itu karna aku tak ingin melihatnya kecewa nantinya, walaupun aku berharap dia tak akan kecewa akan hal itu. Tapi apa salahnya kan antisipasi? Toh, itu tak ada ruginya.


0 comments:

Post a Comment

 

~ A Little Story ~ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review