Kak
Dhisa, dia Kakakku. Entah aku tak tahu apakah dia layak kusebut teman padahal
statusnya sendiri sebagai Kakakku. Jumat malam itu, aku seakan lupa daratan.
Aku lupa aku siapa, dia siapa. Aku memperlakukannya terlalu jauh, tidak sopan.
Aku bodoh dan aku tau itu. Saat itu aku kalap, kehilangan kendali dalam sisi,
kehilangan arah yang menuntun. Kesalahan terbesar karna aku lupa sisi hidupnya.
Setiap manusia punya sisi diri dan sisi hidupnya masing – masing. Selayaknya
sebagai sesama manusia, setiap orang harus pandai memutar etika, bukan
melupakan etika. Etika ada bukan untuk dilupakan, etika ada untuk pedoman.
Setiap manusia juga punya pedoman hidup, tak terkecuali Kak Dhisa. Tak ada
maksud membuat penuntutan, tak ada maksud paksaan. Hanya sebuah maksud untuk
membuat sudut pandang tentangnya berubah. Aku tak suka dia di tuntut macam –
macam oleh orang yang belum mengenalnya tapi sok – sokan mengenalnya.
Masih
segar ingatanku Jumat malam itu. Kita berselisih paham. Cerita yang seharusnya
mengalun indah berubah bak mendung hitam menggelayuti mentari, menciptakan
hujan yang tak jelas datangnya. Sepotong kalimat yang menciptakan kilatan besar
di hatinya. Aku memang tak pantas, aku bodoh, aku tolol. Berkali – kali ku
sesali apa yang telah tertulis dan membekas. Aku tak bisa memutar waktu, aku
hanya bisa memperbaiki. Bukan memperbaiki waktu, tapi memperbaiki hal bodoh
yang telah terjadi. Sebuah percakapan hangat pada awalnya, kemudian balasan –
balasan tidak mau kalah satu sama lain. Kita sama – sama tidak mau salah, kita
tidak mau dipermainkan. Mungkin kita sama – sama egois, tapi yang aku tau semua
orang punya sisi egois masing – masing. Tinggal bagaimana orang itu
mengendalikan keegoisannya di depan orang lain.
Paginya,
setelah Jumat malam panjang itu, aku dan Kak Dhisa masih saling berkirim pesan.
Aku kaget saat membaca kalimat demi kalimat dari Kak Dhisa yang pada saat itu
aku ingat betul pukul 05.42. Rasanya seperti perasaan takut akan kehilangan,
akan kepergian sesuatu. Iya! Kepergian pemilik suara itu, pemilik jari peseni
itu, Kak Dhisa. Seakan – akan dia memberi tanda untuk pamit dari udara. Jujur,
aku terluka. Sejak SMS terakhirnya, aku tidak berinteraksi apapun dengannya
sampai hari berikutnya. Dan pada hari dimana bendera merah putih dikibarkan,
dia pun mengirimiku pesan singkat yang isinya mampu membuatku merasa lebih
bersalah padanya. Ya, saat itu aku jatuh. Aku tak tahu lagi harus bersandar
pada apa. Tapi, teman – temanku dengan setia hadir untuk memberikan pundaknya
untukku jadikan sandaran dan tempat bercerita. Tidak semua. Aku tidak berani
menceritakan semuanya. Mungkin aku terlalu penakut. Entah mengapa seperti ada
bisikan yang selalu mencegahku untuk menceritakan kejadian Jumat malam itu pada
orang lain.
Sejak
saat itu, kami berdua saling terdiam. Kami tak pernah bicara satu sama lain.
Seperti ada garis orbit yang menghalang diantara aku dan Kak Dhisa. Dan aku
sendiri terlalu lemah untuk menghancurkan batasan itu. Akhirnya hari Jumat yang
lain, 17 Februari 2012, Tuhan mempersilahkan kami berdua untuk bertemu. Ya,
kami bertemu untuk sebuah kegiatan mingguan rutin yang diadakan oleh *sensor*
yang kami ikuti. Kami biasa memulai acara tersebut sesaat setelah bel pulang
dibunyikan. Tapi entah mengapa, Kakiku terasa lebih berat dari biasa, seperti
ada yang mengikat Kakiku dengan erat. Alhasil, aku terlambat ikut acara itu.
Hal pertama yang aku pikirkan saat aku membuka pintu adalah “Aku tidak mau
melihatnya, tidak boleh!” Aku begitu yakin dan aku melaksanakan perintah dari
pikiranku tadi. Sampai dengan selesai, aku sama sekali tidak memperhatikannya,
walaupun begitu aku tetap sadar ada sepasang mata mencuri pandang ke arahku, Kak
Dhisa. Aku bukan GR, tapi memang ada juga temanku yang mengisyaratkannya
padaku. Waktu itu terasa sangat lama, padahal acara tak lebih dari 45 menit,
rasanya siang itu berjalan melambat. Entah kenapa.
0 comments:
Post a Comment