Wednesday, December 5, 2012

Butiran Senyum Kemunafikan (Part 1)

Posted by Aprillia Himatina at 9:38 PM

Jumat malam, 10 Februari 2012. Kala matahari telah bergegas ke asalnya, kala rembulan memancarkan cahayanya. Jemari – jemari lentik menari di atas keypad HP milik seorang perempuan berambut panjang hitam menjuntai. Ya, itu aku. Panggil saja Hima. Tak kurang dari dua jam, HP ini terus bergetar, menawarkan sensasi – sensasi cerita yang terkadang tak bisa di nalar. Setiap menit, tulisan itu terus muncul. Muncul ke pikiranku, membuat imaji diriku semakin tak menentu. Detik, menit, jam, seakan berlalu dengan leganya tanpa punya akal. Tak pikirkan perasaan. Satu kalimat, detik itu seakan – akan berhenti dan membeku. Nafasku tercekat, terhambat, pikiranku tersumbat. Menit yang tadinya dipenuhi kupu – kupu yang beterbangan, sekejap berubah. Berubah menjadi lebah yang seakan menyengat kulit. Semua berbeda, hilang dalam sekejap. Senyum yang tadinya melenggang indah di bibirku berubah menjadi muka yang melipat, menyesali sesuatu. Suatu kebodohan, yang tak seharusnya disampaikan.
          Sosok perempuan di sudut lain juga sedang sibuk bertanya – tanya dengan malam. Dia terlihat linglung, dia bingung, pikirannya melambung. Menerka apa yang terjadi, hujan batin apa yang ia dera saat ini. Hujatan? Cambukan? Cacian? Atau apa? Semuanya terasa ganjil, tak seperti biasa. Senyum yang biasanya selalu terpampang di wajahnya kini mulai berganti dengan lipatan kening serta picingan mata. Matanya sendiri menembus angkasa raya, membuat tanda tanya di antara berjuta bintang. Hampir tengah malam, pukul 22.00 perempuan itu masih sibuk ‘bermain’. HP touchscreen tergenggam erat diantara jari jemarinya, jari – jari lentik seorang peseni. Beberapa tulisan menaik turunkan darahnya, memainkan nadinya lebih cepat. Kaki yang semula dipenuhi darah kemudian hilang. Darah itu hilang bergerak naik ke atas. Memuncak dan hampir menyemburat. Tetapi dia bisa tahan rasa sakit itu, dia bisa pendam rasanya, dan dia bisa buang egonya. Dia perempuan kolot. Dia sendiri yang membuat pengakuan akan dirinya itu, sisi lain dimana orang lain terkadang tak dapat menerimanya apa adanya. Pakai topeng, hiasan wajah. Semua terlihat sempurna. Bibir yang tersenyum mengembang, mata yang menyiratkan kemunafikan. Dunia penuh topeng, jiwa yang matang akan jatuh karenanya. Disitulah ketabahan seseorang dapat dibaca. Dia atau kamu yang ada disana. Karna dia dan kamu adalah seorang, dengan tubuh dan watak yang sama.
Tak tahu kemana arah jalan bicara, tapi semua mengalir tanpa putus. Walaupun setetes air mata menjadi tampungannya, namun tetap ada saja ceria menghiasi muka. Malam itu, aku tak bermaksud mengusikmu. Seperti hal sederhana yang selalu kamu ceritakan padaku. Sejenak kutatap layar HP, arti kata – kata itu sungguh merasuk menyeruduk dari jiwa sampai pikiran. Tak tampak lagi candaan, yang tampak hanyalah rasa emosi yang melayangkan salahnya padaku. Yang ada hanya kecewa, rasa kecewa terhadap seorang perempuan berambut hitam panjang menjuntai yang sedari tadi khawatir memikirkan seseorang diseberang. Kesalahan! Salah bicara, salah kata, salah presepsi. Retorika kehidupan seakan berputar semena – mena tanpa memandang pelakunya. Tanpa melihat si empunya kebingungan menghadapi gejolak dunia.
           Terlalu berbelit, rumit, dan membelit. Semesta raya rasanya belum mau memberikan jalannya untuk aku dan dia. Perempuan dengan rambut panjang menjuntai dengan seseorang yang berjari peseni. Malam Jumat ini belum berkahir, sang empunya masih menyediakan waktu untuk kita bicara. Pelurusan otak, yang tadinya melenceng agar kembali ke topik yang benar. Pembicaraan kita sungguh ambigu! Kita punya presepsi, tapi tak sama. Tak ada yang sama. Arah pembicaraan dari A sampai Z tak dapat titik utuhnya. Selalu terpotong kata tanya, tanda tanya yang makin menghancurkan jalan bicara.

to be continued.... (inspirate by dwitasari)

Himpret

0 comments:

Post a Comment

 

~ A Little Story ~ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review