Jumat
malam, 10 Februari 2012. Kala matahari telah bergegas ke asalnya, kala rembulan
memancarkan cahayanya. Jemari – jemari lentik menari di atas keypad HP milik seorang perempuan
berambut panjang hitam menjuntai. Ya, itu aku. Panggil saja Hima. Tak kurang
dari dua jam, HP ini terus bergetar, menawarkan sensasi – sensasi cerita yang
terkadang tak bisa di nalar. Setiap menit, tulisan itu terus muncul. Muncul ke
pikiranku, membuat imaji diriku semakin tak menentu. Detik, menit, jam, seakan
berlalu dengan leganya tanpa punya akal. Tak pikirkan perasaan. Satu kalimat,
detik itu seakan – akan berhenti dan membeku. Nafasku tercekat, terhambat,
pikiranku tersumbat. Menit yang tadinya dipenuhi kupu – kupu yang beterbangan,
sekejap berubah. Berubah menjadi lebah yang seakan menyengat kulit. Semua
berbeda, hilang dalam sekejap. Senyum yang tadinya melenggang indah di bibirku
berubah menjadi muka yang melipat, menyesali sesuatu. Suatu kebodohan, yang tak
seharusnya disampaikan.
Sosok perempuan di sudut lain juga
sedang sibuk bertanya – tanya dengan malam. Dia terlihat linglung, dia bingung,
pikirannya melambung. Menerka apa yang terjadi, hujan batin apa yang ia dera saat
ini. Hujatan? Cambukan? Cacian? Atau apa? Semuanya terasa ganjil, tak seperti
biasa. Senyum yang biasanya selalu terpampang di wajahnya kini mulai berganti
dengan lipatan kening serta picingan mata. Matanya sendiri menembus angkasa
raya, membuat tanda tanya di antara berjuta bintang. Hampir tengah malam, pukul
22.00 perempuan itu masih sibuk ‘bermain’. HP touchscreen tergenggam erat diantara jari jemarinya, jari – jari lentik
seorang peseni. Beberapa tulisan menaik turunkan darahnya, memainkan nadinya
lebih cepat. Kaki yang semula dipenuhi darah kemudian hilang. Darah itu hilang
bergerak naik ke atas. Memuncak dan hampir menyemburat. Tetapi dia bisa tahan
rasa sakit itu, dia bisa pendam rasanya, dan dia bisa buang egonya. Dia
perempuan kolot. Dia sendiri yang membuat pengakuan akan dirinya itu, sisi lain
dimana orang lain terkadang tak dapat menerimanya apa adanya. Pakai topeng,
hiasan wajah. Semua terlihat sempurna. Bibir yang tersenyum mengembang, mata
yang menyiratkan kemunafikan. Dunia penuh topeng, jiwa yang matang akan jatuh
karenanya. Disitulah ketabahan seseorang dapat dibaca. Dia atau kamu yang ada
disana. Karna dia dan kamu adalah seorang, dengan tubuh dan watak yang sama.
Tak tahu kemana
arah jalan bicara, tapi semua mengalir tanpa putus. Walaupun setetes air mata
menjadi tampungannya, namun tetap ada saja ceria menghiasi muka. Malam itu, aku
tak bermaksud mengusikmu. Seperti hal sederhana yang selalu kamu ceritakan
padaku. Sejenak kutatap layar HP, arti kata – kata itu sungguh merasuk
menyeruduk dari jiwa sampai pikiran. Tak tampak lagi candaan, yang tampak
hanyalah rasa emosi yang melayangkan salahnya padaku. Yang ada hanya kecewa,
rasa kecewa terhadap seorang perempuan berambut hitam panjang menjuntai yang
sedari tadi khawatir memikirkan seseorang diseberang. Kesalahan! Salah bicara,
salah kata, salah presepsi. Retorika kehidupan seakan berputar semena – mena
tanpa memandang pelakunya. Tanpa melihat si empunya kebingungan menghadapi
gejolak dunia.
Terlalu berbelit, rumit, dan membelit. Semesta
raya rasanya belum mau memberikan jalannya untuk aku dan dia. Perempuan dengan
rambut panjang menjuntai dengan seseorang yang berjari peseni. Malam Jumat ini
belum berkahir, sang empunya masih menyediakan waktu untuk kita bicara.
Pelurusan otak, yang tadinya melenceng agar kembali ke topik yang benar.
Pembicaraan kita sungguh ambigu! Kita punya presepsi, tapi tak sama. Tak ada
yang sama. Arah pembicaraan dari A sampai Z tak dapat titik utuhnya. Selalu
terpotong kata tanya, tanda tanya yang makin menghancurkan jalan bicara.
to be continued.... (inspirate by dwitasari)
Himpret
0 comments:
Post a Comment