Tuesday, December 18, 2012

Butiran Senyum Kemunafikan (Part. 5)

Posted by Aprillia Himatina at 10:29 PM


Jumat berikutnya, 24 Februari 2012, aku dan Kak Dhisa dipertemukan lagi dalam acara yang sama. Tapi kali ini ada yang berbeda. Hanya karna sebuah game, truth or dare, jalan pikiranku berubah. Dia melanggar janjinya sendiri, dengan mudahnya dia membicarakan suatu hal yang benar – benar mengejutkanku. Rasanya seperti kutub utara seakan berpindah ke selatan, berbalik! Muka yang tadinya aku tundukkan, dengan seketika tegak dan aku tidak dapat menyembunyikan kekhawatiranku. Tatapan yang tadinya kosong, berubah memelas. Tapi entah mengapa,jarak kami yang saat itu hanya dibatasi oleh seorang Cina tak mampu mengubah pikirannya. Aku hancur, aku kecewa. Aku tidak dapat bersembunyi, yang bisa ku lakukan setelah itu adalah menyendiri, aku pergi dari tempat itu sejenak. Tak habis pikir mengapa Kak Dhisa berbuat setega itu. “Mungkin karma” pikirku untuk menenangkan diri.
Aku tak dapat menyembunyikan amarahku, hati yang sedari kemarin dipenuhi abu lama kelamaan berubah menjadi bara api kecil yang tanpa disadari telah membesar. Aku terlampau percaya padanya, tak pernah terlintas bahwa Kak Dhisa akan setega itu. Hari demi hari berlalu, sudah 1 bulan aku dan Kak Dhisa saling menyembunyikan suara satu sama lain. Hal yang bisa ku lakukan hanya mengiriminya SMS atau hanya sekedar chatting berharap ada setitik cahaya bintang yang membantuku menerangi kegelapan di salah satu sisi Kak Dhisa.
Di sela – sela kesalahpahaman diantara kami, aku sempat menulis status di dua akun jejaring sosialku,tanggal 26 Februari 2012. “Aku capek setiap hari menghindarinya. Jika mata kami bertemu pandang, aku tidak ingin lagi pura – pura sibuk atau tidak melihat. Sudah terlalu munafik aku berbuat seperti itu” Kalimat itu aku kutip dari sebuah novel yang baru saja aku baca. Bicara mengenai jejaring sosial, tepat sebulan kemudian, 26 Maret 2012, aku kembali menulis status. “Maaf” Aku lupa itu untuk apa, tapi aku yakin saat itu aku hanya sedang teringat akan kesalahanku.  Aku menunggu hari yang sama agar bisa kembali mendengar suara ataupun entah cerita dari Kak Dhisa.
“Aku lelah menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri. Aku lelah menjadi seseorang yang bahkan tak kukenali sama sekali, Him” Aku hanya bisa mematung dan berpikir, menyelami labirin – labirin dalam otakku yang semakin rumit dan semakin tak kumengerti. Aku mencoba menguatkan langkahku dan menegakkan ketegaran hatiku. Tapi aku muak terlihat kuat! Aku muak berpura – pura menjadi seseorang yang terlihat kuat! Aku lelah bahwa aku harus memendam semua uneg – uneg ini. Aku lelah dalam kepalsuan. Aku sangat ingin menangis, tapi aku hanya bisa menyembunyikan air mataku. Karna aku tau Kak Dhisa juga pasti benci kalau aku sampai meneteskan bulir – bulir air mata ini.
Aku tak tahu mengapa pertengkaran seperti ini terjadi pada aku dan dia. Aku tak mengerti apa salahku dan apa salahmu yang selalu menghasilkan adu argumen tanpa mengerti situasi. Ada batu yang sangat keras di kepalaku dan kepalamu. Ada aliran sungai yang begitu deras pada setiap tutur kataku dan tutur katamu. Kita selalu merasa paling dewasa. Kita selalu merasa paling tahu apa yang ada di dunia. Keegoisan yang membuncah liar itu, amarah yang tak terkendali itu, seperti ada iblis yang memporak – porandakan isi otak kita. Sehingga tak ada kata yang tersaring dalam obrolan kita. Mungkin... benar kalau kita masih seorang bocah. Walaupun kamu telah berusia 17 tahun, dan saat itu aku masih berusia 15 tahun. Kita masih mencoba untuk dewasa. Kita masih mencoba untuk berubah. Peralihan yang paling sulit ketika anak ingusan menciumi titik kedewasaan. Jiwaku dan jiwamu masih terlalu lemah untuk mengerti segala hal yang disediakan dunia. Mataku dan matamu masih terlalu lelah untuk menatap segala kemungkinan yang ada. Awalnya, kita selalu berbicara tentang kesamaan dalam diri kita. Tapi saat pertengkaran tercipta, kita malah saling mengungkit perbedaan yang turut menjadi penumpang gelap dalam pelayaran kita. Ini tentu bukan cara orang dewasa menyelesaikan masalah. 

0 comments:

Post a Comment

 

~ A Little Story ~ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review