Sunday, December 9, 2012

Butiran Senyum Kemunafikan (Part. 2)

Posted by Aprillia Himatina at 9:12 PM


Aku pernah meminta Kak Dhisa menceritakan apa yang selama ini ia rasakan. Entah rasa ataupun perasaan yang tak pernah mampu terucap oleh kata. “Ceritakan apa yang kamu rasa” Aku dan Kak Dhisa selalu takut menghadapai kenyataan. Kenyataan seakan siap menerkam mangsanya yang salah dalam bicara. Kenyataan seakan menjadi bayangan yang tak dapat lepas dari empunya. Kenyataan adalah fakta, bukan opini atau fiktif belaka. Entah disini batas keteguhan hati kita diuji. “Kita siapa?” Kita. Hima dan Kak Dhisa. Batas keteguhan diuji untuk tahu seberapa besar kekuatan doamu dan doaku saling menyentuh, menyentuh kalbu. Menghangatkan satu sama lain.
          Inilah fase dimana keterbatasan kita sebagai manusia tidak utuh, sebagian hilang, entah terbang melayang kemana. Tak ada tatapan mata, tapi hati terus berkata – kata. Aku semakin bingung dengan Jumat malam ini. Semua terasa berbeda. Keingintahuan akan asa berubah seketika. Asa itu berubah menjadi abu, tiada pernah seorangpun menyangka. Api yang membakar abu kini pun telah padam, berganti menjadi gejolak kilatan – kilatan dahsyat yang siap merenggut pemain – pemainnya. Termenung, terdiam, sunyi senyap melanda. Detakan jarum jam mengiringi drama Jumat malam ini. “Jumat malam yang berbeda”, pikirku.
          Sudah cukup lama si pemilik jemari peseni, Kak Dhisa, memicingkan matanya untuk memastikan tulisan apa yang ada di depannya. “Tulisan yang benar – benar aneh!” Hal terakhir yang ia gumamkan ketika detakan jam disampingnya terdengar melambat. Dia roboh, tersapu oleh histeria Jumat malam. Terlalu penat untuk dipikirkan, terlalu capek untuk dipedulikan. Hari semakin malam dan HP disampingnya masih terus berkedap – kedip memancarkan sinarnya. Sinar pemberitahuan, bukan kerusakan. Kalimat – kalimat di Hpnya yang rusak!
          Perempuan berambut hitam panjang menjuntai juga kiranya sudah lelah, dia roboh dalam balutin selimut coklatnya. Terlalu lelah untuk meluruskan jalan yang berkelok, jalan yang dibuatnya sendiri. “Aku yakin akan ada waktu yang tepat untuk membayarnya” Perempuan yang tak lain adalah aku itu kemudian beranjak ke peraduannya. Retorika hidup, aku pikirkan hal itu sekali lagi. Sampai mata ini menutup dengan sendirinya, dan HP di genggaman. Aku tak sanggup, aku lelah. Rutinitas harian yang menguras kadar keringat. Panas!
          Tak sadar, Jumat malam tadi titik mula permasalahan hidup muncul. Bukan permasalahan sederhana, tapi permasalahan yang membahana. Hingga tak terasa ada rasa hina menancap di dada. Ya, ini salahku. Aku hanya berusaha membangunkan jalan untuk Kak Dhisa, tapi jalan pintas yang kuambil salah. Estetika kulupakan, hanya demi satu ambisi belaka. Membahagiakannya. Hari ini ke sekolah, besok ke sekolah, dan begitu seterusnya hingga selesai. Aku jadi malas untuk sekolah, bukan karna pelajarannya. Tapi karna aku akan melihat Kak Dhisa yang sudah tersakiti oleh perempuan berambut hitam panjang menjuntai ini.
          Ingin tahu, perasaan yang sedari tadi aku pikirkan. Perasaan yang bukan hanya sekedar dirasakan. Aku cari tahu. Pergi kesana kemari, mencari jawaban dari tanda tanya dihati, tapi tak kunjung kudapat yang pasti. Setiap menit, jam, hari, aku selalu ingin mengetahui. Keadaan, raut muka, seberapa sedih dirinya, atau bahkan seberapa bahagiakah Kak Dhisa sekarang? Aku takut menatapnya, aku tak berani. Hanya rasa sedih menggeluti saat Kak Dhisa terlihat dari ujung pelupuk mataku. Batinku mengerang, sakit menyaksikan kepercayaan itu tiba – tiba hilang. Pikiranku melayang, membayangkan betapa marahnya dia padaku. 

(to be continued...)

himpret

0 comments:

Post a Comment

 

~ A Little Story ~ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review