Aku pernah meminta
Kak Dhisa menceritakan apa yang selama ini ia rasakan. Entah rasa ataupun
perasaan yang tak pernah mampu terucap oleh kata. “Ceritakan apa yang kamu
rasa” Aku dan Kak Dhisa selalu takut menghadapai kenyataan. Kenyataan seakan
siap menerkam mangsanya yang salah dalam bicara. Kenyataan seakan menjadi
bayangan yang tak dapat lepas dari empunya. Kenyataan adalah fakta, bukan opini
atau fiktif belaka. Entah disini batas keteguhan hati kita diuji. “Kita siapa?”
Kita. Hima dan Kak Dhisa. Batas keteguhan diuji untuk tahu seberapa besar
kekuatan doamu dan doaku saling menyentuh, menyentuh kalbu. Menghangatkan satu
sama lain.
Inilah fase dimana keterbatasan kita
sebagai manusia tidak utuh, sebagian hilang, entah terbang melayang kemana. Tak
ada tatapan mata, tapi hati terus berkata – kata. Aku semakin bingung dengan
Jumat malam ini. Semua terasa berbeda. Keingintahuan akan asa berubah seketika.
Asa itu berubah menjadi abu, tiada pernah seorangpun menyangka. Api yang
membakar abu kini pun telah padam, berganti menjadi gejolak kilatan – kilatan
dahsyat yang siap merenggut pemain – pemainnya. Termenung, terdiam, sunyi
senyap melanda. Detakan jarum jam mengiringi drama Jumat malam ini. “Jumat
malam yang berbeda”, pikirku.
Sudah cukup lama si pemilik jemari
peseni, Kak Dhisa, memicingkan matanya untuk memastikan tulisan apa yang ada di
depannya. “Tulisan yang benar – benar aneh!” Hal terakhir yang ia gumamkan
ketika detakan jam disampingnya terdengar melambat. Dia roboh, tersapu oleh
histeria Jumat malam. Terlalu penat untuk dipikirkan, terlalu capek untuk
dipedulikan. Hari semakin malam dan HP disampingnya masih terus berkedap –
kedip memancarkan sinarnya. Sinar pemberitahuan, bukan kerusakan. Kalimat –
kalimat di Hpnya yang rusak!
Perempuan berambut hitam panjang
menjuntai juga kiranya sudah lelah, dia roboh dalam balutin selimut coklatnya.
Terlalu lelah untuk meluruskan jalan yang berkelok, jalan yang dibuatnya
sendiri. “Aku yakin akan ada waktu yang tepat untuk membayarnya” Perempuan yang
tak lain adalah aku itu kemudian beranjak ke peraduannya. Retorika hidup, aku
pikirkan hal itu sekali lagi. Sampai mata ini menutup dengan sendirinya, dan HP
di genggaman. Aku tak sanggup, aku lelah. Rutinitas harian yang menguras kadar
keringat. Panas!
Tak sadar, Jumat malam tadi titik mula
permasalahan hidup muncul. Bukan permasalahan sederhana, tapi permasalahan yang
membahana. Hingga tak terasa ada rasa hina menancap di dada. Ya, ini salahku.
Aku hanya berusaha membangunkan jalan untuk Kak Dhisa, tapi jalan pintas yang
kuambil salah. Estetika kulupakan, hanya demi satu ambisi belaka.
Membahagiakannya. Hari ini ke sekolah, besok ke sekolah, dan begitu seterusnya
hingga selesai. Aku jadi malas untuk sekolah, bukan karna pelajarannya. Tapi
karna aku akan melihat Kak Dhisa yang sudah tersakiti oleh perempuan berambut
hitam panjang menjuntai ini.
Ingin tahu, perasaan yang sedari tadi
aku pikirkan. Perasaan yang bukan hanya sekedar dirasakan. Aku cari tahu. Pergi
kesana kemari, mencari jawaban dari tanda tanya dihati, tapi tak kunjung
kudapat yang pasti. Setiap menit, jam, hari, aku selalu ingin mengetahui.
Keadaan, raut muka, seberapa sedih dirinya, atau bahkan seberapa bahagiakah Kak
Dhisa sekarang? Aku takut menatapnya, aku tak berani. Hanya rasa sedih
menggeluti saat Kak Dhisa terlihat dari ujung pelupuk mataku. Batinku
mengerang, sakit menyaksikan kepercayaan itu tiba – tiba hilang. Pikiranku
melayang, membayangkan betapa marahnya dia padaku.
(to be continued...)
himpret
0 comments:
Post a Comment